LENTERA MALUT – Pemutaran film dokumenter berjudul “Yang Mengalir di Kawasi” yang digelar oleh TV Tempo di Bioskop XXI Ternate pada Senin (14/07/2025), mendapat aksi protes dari sejumlah warga yang tinggal di sekitar area tambang.
Para warga menolak lokasi pemutaran dan diskusi yang dilakukan di luar wilayah terdampak tambang. Mereka menuntut agar kegiatan tersebut dilaksanakan langsung di kawasan yang merasakan langsung dampak pengelolaan lingkungan oleh PT Harita Group.
Dalam aksi tersebut, warga bersama Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Maluku Utara membawa spanduk dan umbul-umbul yang menggambarkan kondisi lingkungan di daerah mereka, termasuk krisis air bersih yang hingga kini masih menjadi persoalan utama.
Ketua Pimpinan Wilayah Pemuda Muhammadiyah (PWPM) Maluku Utara, Muhammad Fadly, turut hadir menyaksikan pemutaran film dokumenter itu. Ia menyampaikan kritik bahwa film tersebut hanya menampilkan sisi positif pengelolaan lingkungan, khususnya kualitas udara, oleh perusahaan, namun mengabaikan realitas yang dirasakan masyarakat.
“Dokumenter ini seolah ingin menunjukkan bahwa pengelolaan udara oleh perusahaan berjalan baik. Padahal masyarakat memiliki pengalaman langsung yang berbeda. Misalnya, di wilayah yang hutannya sudah dibuka, dampaknya jauh lebih parah dibandingkan dengan wilayah yang masih alami,” ujar Fadly.
Fadly juga menyoroti kurangnya transparansi dalam film tersebut, terutama mengenai periode penelitian data yang ditampilkan. “Harus dijelaskan data itu berasal dari tahun berapa hingga kapan. Tanpa kejelasan ini, masyarakat bisa saja menerima informasi yang menyesatkan,” tegasnya.
Lebih jauh, ia menekankan bahwa masyarakat tidak hanya membutuhkan narasi positif, tetapi juga tindakan nyata yang menyentuh kebutuhan dasar mereka.
“Masyarakat sangat menantikan solusi konkret dari PT Harita, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, dan penyediaan air bersih. Sampai saat ini, bahkan penampungan air atau waduk belum tersedia, dan sumur bor masih diupayakan secara mandiri oleh warga,” tambah Fadly.
Ia juga mengungkapkan bahwa masyarakat kini berada di persimpangan dua narasi: satu pihak menyuarakan dampak negatif tambang, sementara pihak perusahaan menonjolkan sisi positif.
“Hal ini bisa membingungkan masyarakat dan berpotensi menimbulkan perpecahan,” ujarnya.
Untuk itu, Fadly mendorong Pemerintah Provinsi Maluku Utara untuk turun tangan dengan melakukan penelitian independen. Ia menilai, keterlibatan negara penting guna memastikan informasi yang akurat dan menghindari konflik horizontal antarwarga.
“Jangan sampai masyarakat terus-menerus menjadi korban. Kawasi hanyalah sebuah desa kecil, namun hingga kini tetap terpinggirkan, meskipun berada di tengah operasional perusahaan tambang berskala internasional,” pungkasnya.(Red)