LENTERA MALUT – Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, mengungkapkan sejumlah persoalan pelik dalam penerbitan izin tambang dan penggunaan kawasan hutan yang kerap terjadi tanpa koordinasi dengan pemerintah daerah.
Pernyataan itu disampaikannya dalam forum diskusi bersama Komisi IV DPR RI dan Menteri Kehutanan, Raja Juli Antoni, yang berlangsung di Royal Resto, Ternate, Selasa (23/9/2025). Acara tersebut digelar dalam rangka kunjungan kerja Komisi IV DPR RI yang dipimpin oleh Ketua Komisi, Siti Hediati Heriyadi, dan turut dihadiri Wakil Gubernur Sarbin Sehe.
Diskusi tersebut mengangkat tema penting: pengendalian deforestasi melalui pengawasan perizinan berusaha dan Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan (PPKH).
Di hadapan para pemangku kepentingan pusat, Gubernur Sherly menyampaikan kegelisahannya selama enam bulan menjabat. Salah satu isu yang disorot adalah pemberian izin tambang dari Kementerian ESDM kepada pihak swasta, yang dilakukan tanpa melibatkan pemerintah daerah. Padahal, wilayah yang diberi izin tersebut sering kali merupakan tanah ulayat yang diklaim oleh masyarakat adat.
“Akibatnya, masyarakat lokal yang mempertahankan wilayahnya justru berujung dipenjara. Lalu kepala daerah dianggap menzalimi rakyat, padahal ini terjadi di luar kewenangan kami,” ujar Sherly lugas.
Ia menilai, sejumlah kementerian di tingkat pusat kerap mengeluarkan izin berdasarkan data masing-masing tanpa sinkronisasi antarlembaga. Kementerian seperti BKPM, ESDM, dan Kehutanan, menurutnya, berjalan dengan mekanisme sendiri-sendiri.
Sherly pun mencontohkan kasus sebuah perusahaan yang telah mengantongi izin eksplorasi dari Kementerian ESDM. Namun saat hendak membangun akses jalan, jalur yang dilalui ternyata masuk kawasan hutan yang izinnya berada di bawah kewenangan Kementerian Kehutanan. Situasi seperti ini, katanya, kerap memicu konflik di lapangan, bahkan melibatkan masyarakat lokal.
“Masalahnya, tidak ada yang sepenuhnya salah, tapi juga tidak ada yang benar. Semua berjalan sendiri-sendiri tanpa sinkronisasi data,” jelasnya.
Gubernur Sherly kemudian mengusulkan solusi: proses perizinan di tingkat pusat tetap berjalan, namun daerah—baik provinsi maupun kabupaten—harus dilibatkan secara aktif. Ia menegaskan bahwa keterlibatan pemerintah daerah penting, meskipun tidak memiliki kewenangan penuh.
“Minimal, setiap proses pengajuan izin harus melewati komunikasi atau koordinasi dengan daerah. Kami butuh ruang untuk memberikan masukan teknis, agar implementasinya di lapangan tidak menimbulkan masalah,” tegasnya.
Menutup pernyataannya, Sherly berharap ke depan ada perbaikan nyata dalam sistem koordinasi antara pusat dan daerah. Sinkronisasi data dan pelibatan pemerintah daerah dalam pengambilan keputusan strategis, menurutnya, sangat krusial untuk mencegah konflik dan melindungi hak-hak masyarakat lokal. (Red)







