Museum BI Simpan Jejak Uang Rijksdaalder dari Ternate

Unknown's avatar
Sebuah pajangan foto yang memperlihatkan mata uang rykdaalder Ternate yang dipergunakan secara resmi tahun 1809 / Dok : LM

Langit Jakarta masih teduh ketika pengunjung mulai berdatangan ke Museum Bank Indonesia di kawasan Kota Tua. Di antara arsitektur kolonial yang megah dan lantai marmer yang berkilau, tersimpan kisah panjang perjalanan uang yang pernah menjadi saksi peradaban perdagangan dunia—termasuk dari Ternate, pulau rempah yang harum namanya hingga ke Eropa.

Di balik kaca tebal berpendingin ruangan, terpajang lembaran dan koin kuno yang dulunya melintasi lautan, berpindah tangan dari pedagang ke pedagang. Salah satunya adalah Rijksdaalder, uang perak yang pernah beredar di Ternate pada masa kejayaan rempah. Keping logam berwarna keperakan itu bukan sekadar alat tukar, tapi juga simbol kekuasaan dan cerminan persaingan antarbangsa yang ingin menguasai jalur perdagangan di timur Nusantara.

Setelah Revolusi Industri abad ke-18, bangsa-bangsa Eropa berlomba memperluas pengaruhnya. Mereka mencari wilayah jajahan baru, pasar baru, dan bahan mentah untuk pabrik-pabrik yang terus berasap. Di antara yang berlayar jauh itu ada Belanda, yang kemudian menjadikan kepulauan rempah—termasuk Ternate—sebagai poros perdagangan mereka di Timur.

Namun jauh sebelum Belanda datang, para pelaut Portugis dan Spanyol sudah lebih dulu menambatkan kapal mereka di pelabuhan Ternate. Dari merekalah, uang real Spanyol mulai dikenal dan digunakan dalam transaksi. Ketika kemudian VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) berdiri pada 1602, Belanda membawa sistem perdagangan dan keuangannya sendiri. Untuk menegaskan dominasi, mereka mulai menggantikan real Spanyol dengan Rijksdaalder, mata uang perak Belanda yang menjadi standar pembayaran di wilayah jajahan.

VOC tak hanya memperkenalkan Rijksdaalder. Pada 1727 mereka mencetak uang receh dari tembaga, yang dikenal sebagai duit, untuk menggantikan kepeng Cina. Dua dekade kemudian, 1748, VOC memperkenalkan uang kertas pertama dalam bentuk sertifikat berharga dengan nilai mulai dari satu hingga seribu Rijksdaalder. Setiap lembar dijamin dengan perak murni—sebuah sistem yang menandai babak baru dalam sejarah perbankan dan perdagangan dunia.

Kini, berabad-abad kemudian, keping dan lembar uang itu hanya bisa diam terpajang di Museum Bank Indonesia. Tapi dari balik kaca display itu, Rijksdaalder masih berbisik tentang masa ketika Ternate menjadi pusat aroma rempah, tempat para pedagang Eropa berlomba menukar logam mulia dengan pala dan cengkeh yang nilainya setara emas di bursa Eropa.

Bagi pengunjung, setiap artefak di museum ini bukan sekadar benda tua. Ia adalah catatan ekonomi, politik, dan budaya yang menegaskan betapa uang tidak pernah netral—ia menyimpan kisah perebutan kuasa, gairah dagang, dan pertemuan peradaban di Nusantara.

Berikut beberapa foto koleksi arsip di museum Bank Indonesia :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *