LENTERA MALUT — Ironi kembali terjadi di Pulau Obi, Halmahera Selatan. Di saat kerusakan lingkungan akibat tambang nikel terus dikeluhkan warga dan aktivis lingkungan, perusahaan tambang Harita Nickel justru diganjar dua penghargaan bergengsi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) lewat ajang Subroto Award 2025, Jumat (24/10/2025) di Jakarta.
Penghargaan itu diberikan untuk kategori pendidikan dan kesehatan berkat program Rumah Belajar Komunitas serta Soligi Zero Stunting. Melalui siaran persnya, Harita menyebut capaian tersebut sebagai bukti komitmen perusahaan terhadap keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat di sekitar wilayah operasinya, khususnya Pulau Obi.
“Kami percaya keberlanjutan hanya tercapai bila perusahaan dan masyarakat tumbuh bersama,” kata Direktur Utama Harita Nickel, Roy Arman Arfandy, dalam keterangan resminya.
Namun di balik panggung penghargaan itu, laporan dari berbagai organisasi lingkungan justru menunjukkan kenyataan yang jauh berbeda. The Gecko Project, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Maluku Utara, dan The Guardian mencatat bahwa operasi tambang Harita telah meninggalkan jejak panjang kerusakan darat dan laut Pulau Obi sejak 2010.
Dari Surga Hijau Jadi Kawasan Industri
Desa Kawasi, desa tertua di Pulau Obi, kini menjadi saksi perubahan drastis. Wilayah yang dulu subur dengan kebun dan laut melimpah kini tertutup debu tambang dan limbah smelter. Warga kehilangan ruang hidup, sumber pangan, dan sumber air bersih.
Menurut laporan Jatam, perusahaan PT Trimegah Bangun Persada (TBP)—bagian dari Harita Group—melakukan relokasi paksa warga pada 2017–2018 dengan alasan pembangunan smelter dan zona rawan gempa. Namun, warga mengaku tidak pernah diajak menyepakati relokasi tersebut.
“Kami tidak pernah tahu ada MoU apa pun. Tiba-tiba tanah kami disebut milik negara,” kata salah satu warga yang menolak pindah.
Sebagian warga akhirnya dipindahkan ke Eco Village, sekitar lima kilometer dari kampung asal. Pemerintah daerah menyebut relokasi itu “atas kesepakatan bersama,” tapi banyak warga menyebutnya bentuk pengusiran paksa.
Air Tercemar, Udara Terpolusi
Laporan The Gecko Project tahun 2025 mengungkap hasil uji internal perusahaan yang menemukan air minum warga tercemar kromium heksavalen (Cr6) — logam berat penyebab kanker. Namun warga mengaku tidak pernah diberi tahu, apalagi disediakan air pengganti.
“Tidak ada pemberitahuan sama sekali. Kami tetap minum air itu setiap hari,” ujar Nurhayati Jumadi, warga Kawasi.
Pencemaran tak hanya terjadi di darat. Limbah tambang yang mengalir ke laut membawa logam berat seperti nikel dan besi, mengubah air yang dulunya jernih menjadi keruh. Penelitian tahun 2020 oleh Muhammad Aris menunjukkan logam berat itu sudah mengendap pada jaringan ikan, dari kerapu hingga kakap merah — sumber pangan utama warga Obi.
Ancaman ISPA dan PLTU Batu Bara
Selain pencemaran air dan laut, kehadiran PLTU batu bara untuk smelter Harita menambah daftar ancaman kesehatan. Menurut laporan Jatam (2023), lebih dari 900 kasus ISPA terjadi di Kawasi pada 2020, terutama pada bayi dan balita.
Data Polindes Kawasi menunjukkan, sepanjang 2021 terdapat 124 bayi dan 283 balita yang terjangkit ISPA. Debu batu bara dan gas buang dari pabrik peleburan nikel menjadi penyebab utama.
“Nyaris setiap keluarga di Kawasi punya anggota yang sakit pernapasan,” ungkap salah satu tenaga medis setempat.
Privatisasi Laut dan Krisis Pangan
Laut yang selama ratusan tahun menjadi ruang hidup nelayan kini dipagari dan dikuasai perusahaan. Nelayan dilarang melaut di sekitar kawasan industri, memaksa mereka pergi lebih jauh dengan biaya besar. Sementara itu, warga yang tak mampu membeli air isi ulang terpaksa menggunakan air tanah yang sudah tercemar.
Aktivis lingkungan menyebut, yang terjadi di Obi bukan hanya eksploitasi sumber daya alam, melainkan juga perampasan ruang hidup manusia.
Sumber : Laporan Jatam Maluku Utara dan The Gecko Project







