LENTERA MALUT – Pembangunan Jalan Trans Kie Raha (Halmahera) yang menghubungkan Ekor–Subaim hingga Kobe diklaim pemerintah sebagai upaya memperkuat konektivitas antarwilayah dan mendorong pertumbuhan ekonomi di Pulau Halmahera.
Namun, di balik ambisi besar itu, muncul pertanyaan: jalan ini dibangun untuk rakyat atau untuk kepentingan tambang?
Dalam video yang beredar Agustus lalu, Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda tampak membelah peta Halmahera di layar monitor bersama Bupati Halmahera Tengah Ikram M. Sangadji dan Wakil Bupati Halmahera Timur Anjas Taher. Ketiganya sepakat membiayai proyek tersebut lewat APBD masing-masing daerah.
“Kita sudah survei, lagi bikin FS (feasibility study), dan kerja sama dengan Korem untuk pembukaan lahan,” ujar Sherly dalam rekaman itu.
Namun, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Maluku Utara menilai proyek tersebut sarat kepentingan politik dan ekonomi elit.
Manager Advokasi Tambang Walhi Malut, Mubalik Tomagola, menyebut sebagian besar jalur Trans Halmahera justru melewati kawasan industri dan konsesi tambang nikel berskala besar, termasuk di sekitar perusahaan milik Gubernur sendiri, PT Karya Wijaya.
“Secara geografis, jalan ini lebih mirip jalur logistik tambang, bukan jalan bagi warga desa,” ujarnya seperti dikutip Selasa, (28/10/2025)
Menurut Mubalik, pembangunan ini mencerminkan pola pembangunan eksploitatif. “Alih-alih untuk kesejahteraan rakyat, proyek ini justru memperlancar investasi tambang. Ini proyek pesanan oligarki, bukan kebutuhan warga,” tegasnya.
Ia menambahkan, pembangunan sejati bukan diukur dari panjangnya jalan, melainkan dari seberapa banyak rakyat yang sehat dan anak-anak yang bisa bersekolah.
Pandangan senada disampaikan akademisi Universitas Khairun, Astuty Kliwow. Ia menilai, jika pemerintah benar-benar berpihak pada rakyat, pembangunan tidak boleh berhenti di infrastruktur semata.
“Seharusnya bukan hanya membangun jalan, tapi juga menutup tambang-tambang bermasalah yang merusak lahan pertanian dan perkebunan warga,” katanya.
Menurut Astuty, kerusakan lingkungan akibat tambang sudah nyata. Di Wasile, misalnya, sawah-sawah warga kini tidak lagi subur karena area sekitarnya telah diberikan izin tambang nikel.
“Tambang bukan hanya merusak darat, tapi juga laut. Pola kebijakan pemerintah saat ini justru memperlihatkan negara memfasilitasi industri tambang dengan dana publik,” tambahnya.
Catatan Walhi juga menunjukkan, jalur proyek Trans Kie Raha melintasi kawasan Izin Usaha Pertambangan (IUP) milik Gubernur, dengan Sherly Tjoanda tercatat sebagai pemegang saham mayoritas di PT Karya Wijaya. (Red)







