LENTERA MALUT — Kepala Satuan Tugas Koordinasi Supervisi Wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dian Patria, menyoroti ironi kesejahteraan di wilayah-wilayah kaya tambang di Indonesia. Di tengah gemerlap investasi dan produksi mineral, warga lokal justru hidup dalam bayang kemiskinan.
“Biasanya, daerah-daerah yang kaya tambang justru penduduknya paling miskin,” ujar Dian saat memaparkan sepuluh tantangan sektor pertambangan di Gedung Merah Putih, dikutip dari amirariau.com, Selasa (21/10/2025).
Menurut Dian, banyak masyarakat lokal yang sebelumnya bergantung pada pertanian dan perikanan kini kehilangan sumber penghidupan akibat masifnya aktivitas tambang.
“Tanah diambil, laut berubah warna, bahkan ada pencemaran sianida dan merkuri,” ungkapnya.
Ia menjelaskan, sebagian besar tenaga kerja tambang justru berasal dari luar daerah, bahkan luar negeri, sehingga warga setempat tidak menikmati manfaat ekonomi dari aktivitas tambang.
“Warga lokal tidak kebagian pekerjaan, akhirnya tetap miskin di tengah kekayaan alam,” ujarnya.
Dian mencontohkan Weda di Halmahera Tengah dan Morosi di Sulawesi Tenggara sebagai dua wilayah yang mengalami kondisi serupa.
“Data BPS bisa dilihat, yang paling miskin itu Weda dan Morosi, padahal keduanya pusat tambang,” katanya.
Kondisi tak jauh berbeda juga terjadi di Maluku Utara, yang disebut memiliki pertumbuhan ekonomi hingga dua digit. Namun, pertumbuhan tersebut tidak terasa di tingkat masyarakat.
“Tapi uangnya ke mana? Kalau ke Ternate saja masih ada orang ngais-ngais sampah untuk cari makan,” ucap Dian prihatin.
Selain ketimpangan ekonomi, KPK juga menyoroti dampak lingkungan dari pertambangan ilegal, seperti di Pulau Nipah, Kepulauan Riau, yang merugikan negara hingga Rp400–500 miliar.
“Tambang ilegal itu habis tanpa izin, negara malah keluar uang untuk rehabilitasi. Kalau pulau tenggelam, batas negara bisa hilang,” jelasnya.
Dian menambahkan, potensi kebocoran penerimaan negara juga mengintai akibat minimnya kepatuhan pelaku tambang dalam pelaporan dan pembayaran pajak.
“Saya sudah rapat dengan DJP (Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan) sebulan lalu. Mereka juga pusing karena banyak aturan yang justru menggerus penerimaan negara,” ungkapnya
KPK, lanjut Dian, menegaskan pentingnya menjadikan isu lingkungan sebagai perhatian utama dalam tata kelola pertambangan. Ia mengingatkan agar aspek lingkungan tidak diabaikan, terutama saat penertiban atau pencabutan izin usaha.
“Lingkungan rusak, mereka tidak bisa hidup. Ini yang perlu jadi perhatian. Sering kali lingkungan tidak menjadi concern,” tegasnya seperti mengutip radarriaunet.com
Dian menutup dengan peringatan agar kewajiban pemulihan lingkungan tidak hilang meski izin usaha tambang dicabut. “Jangan sampai ketika izin dicabut, tanggung jawab lingkungan mereka ikut hilang,” pungkasnya. (Red)







