LENTERA MALUT — Jumlah penduduk usia kerja di Provinsi Maluku Utara kini menembus angka 1 juta jiwa. Namun, peningkatan itu juga diikuti naiknya angka pengangguran terbuka di daerah penghasil nikel ini.
Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Maluku Utara, Simon Sapary, dalam keterangan pers yang dikutip Rabu (12/11/2025) menjelaskan, penduduk usia kerja (PUK) — yakni mereka yang berumur 15 tahun ke atas — pada Agustus 2025 tercatat sebanyak 1,014 juta orang, naik 17,18 ribu orang dibandingkan tahun sebelumnya.
Dari jumlah itu, angkatan kerja mencapai 705,58 ribu orang, sedangkan 308,65 ribu orang lainnya termasuk kategori bukan angkatan kerja, seperti pelajar, mahasiswa, ibu rumah tangga, dan pensiunan.
“Kenaikan jumlah penduduk usia kerja diikuti peningkatan jumlah angkatan kerja yang aktif di pasar kerja,” kata Simon.
BPS mencatat, komposisi angkatan kerja Maluku Utara pada Agustus 2025 terdiri dari 673,46 ribu orang bekerja dan 32,12 ribu orang pengangguran.
Dibandingkan Agustus 2024, jumlah angkatan kerja naik 16,35 ribu orang, namun jumlah pengangguran juga ikut meningkat 4,38 ribu orang.
Kenaikan ini menunjukkan pasar kerja di Maluku Utara masih menyerap tenaga kerja baru, tapi belum sepenuhnya mampu menampung tambahan penduduk usia kerja yang terus bertambah setiap tahun.
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Maluku Utara naik menjadi 69,57 persen dari sebelumnya 69,13 persen. Artinya, makin banyak penduduk usia kerja yang aktif dalam pasar kerja — baik yang bekerja maupun sedang mencari kerja.
Namun, jika dilihat dari jenis kelamin, kesenjangan masih terasa. Dimana, TPAK laki-laki tercatat sebesar 83,85 persen, sedangkan perempuan hanya 54,29 persen. “TPAK laki-laki naik 1,45 persen poin, sementara perempuan justru turun 0,69 persen poin dibanding Agustus 2024,” ujar Simon.
Kondisi ini menunjukkan bahwa partisipasi perempuan dalam dunia kerja masih tertinggal, meski secara umum aktivitas ekonomi di provinsi itu meningkat.
Kenaikan jumlah penduduk usia kerja dan TPAK memang menjadi sinyal positif dari sisi potensi tenaga produktif. Namun, di sisi lain, pertumbuhan ekonomi belum cukup kuat untuk menyerap tambahan tenaga kerja baru secara proporsional.
Pemerhati ekonomi menilai, situasi ini perlu direspons dengan perluasan sektor padat karya, peningkatan pelatihan vokasi, dan dukungan usaha kecil menengah (UKM) agar tidak memunculkan beban pengangguran baru di masa depan.
“Bonus demografi hanya akan menjadi peluang jika tenaga kerja yang bertambah bisa diserap di sektor produktif,” ujar analis ekonomi Gustamin. (Red)







