Artikel
Rencana pemerintah untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) lewat DPRD kembali menjadi sorotan publik. Pertanyaan besar pun mencuat: apakah langkah ini akan membawa kemajuan bagi demokrasi atau justru menjadi kemunduran sistem politik lokal?
Sejumlah ahli demokrasi dan tata kelola pemerintahan menilai bahwa pilkada lewat DPRD berpotensi melemahkan otonomi daerah dan menjauhkan rakyat dari proses politik. Sentralisasi kekuasaan dinilai tak terelakkan. Kandidat kepala daerah tetap ditentukan pimpinan partai di pusat, bukan suara rakyat di daerah.
Dalam pandangan banyak kalangan, keputusan mengalihkan pilkada ke DPRD bukan hanya mengurangi ruang partisipasi, melainkan juga membuka peluang resentralisasi politik, di mana pusat dapat menekan DPRD melalui jalur partai.
Demokrasi Melemah, Rakyat Kehilangan Ruang Suara
Melalui pilkada DPRD, masyarakat semakin tidak memiliki akses untuk memilih dan dipilih. Padahal partisipasi politik merupakan inti demokrasi. Ketika rakyat hanya menjadi penonton, bukan pelaku utama, demokrasi mengalami kemunduran.
Risiko lainnya adalah penurunan akuntabilitas kepala daerah. Pemimpin yang terpilih oleh DPRD cenderung lebih bertanggung jawab kepada partai pengusung dibandingkan rakyat pemilih. Situasi ini disebut oleh pengamat sebagai pintu masuk menuju gaya pemerintahan otoriter, akibat melemahnya institusi demokrasi dan politik (Bermoe, 2016).
Potensi Konflik dan Legitimasi Lemah
Konflik sosial juga berpotensi muncul jika kepala daerah yang ditentukan DPRD tidak sesuai kehendak rakyat. Selain menurunnya legitimasi, sistem ini juga berpotensi memperkuat praktik “politik transaksional” karena suara rakyat tak lagi menjadi faktor penentu, melainkan kesepakatan elit politik.
Hasil studi Syarif dan Prabowo (2025) menunjukkan bahwa DPRD memiliki kepentingan politik yang kerap mempengaruhi proses pemilihan. Hal ini berpotensi menghasilkan pemimpin yang bekerja untuk kepentingan segelintir elit, bukan publik.
Hasil survei Litbang Kompas (2025) memperkuat penolakan publik terhadap sistem pilkada melalui DPRD. Sebanyak 85,1 persen responden di tingkat kabupaten/kota dan 83,5 persen untuk tingkat provinsi memilih agar kepala daerah tetap dipilih secara langsung oleh rakyat.
Hanya sekitar 11-12 persen yang setuju kepala daerah dipilih DPRD. Alasannya jelas: masyarakat ingin jaminan transparansi, integritas, dan akses langsung memilih pemimpin, yang dianggap sulit terwujud jika pemilihan dikembalikan ke legislatif.
Efisiensi atau Demokrasi?
Meski demikian, pendukung pilkada DPRD menyebut sistem ini lebih efisien karena menghemat anggaran negara dan memperkuat fungsi kontrol DPRD terhadap eksekutif. Pemilihan melibatkan hanya 20-55 anggota DPRD kabupaten/kota, sehingga dianggap lebih sederhana dan hemat biaya.
Namun catatan kritis tetap perlu disematkan: efisiensi bukan satu-satunya indikator demokrasi. Tanpa partisipasi langsung warga, efisiensi bisa jadi hanya topeng dari praktik politik elitis yang jauh dari aspirasi rakyat.
Alternatif: Perkuat Pilkada Langsung, Bukan Mundur
Para akademisi dan praktisi demokrasi mengusulkan agar pilkada langsung justru diperkuat, bukan dihapus. Pemilihan langsung mampu menyeimbangkan distribusi kekuasaan, memperkuat akuntabilitas pemimpin lokal, dan membuka peluang bagi pemimpin berbasis merit.
Penegakan hukum, pendidikan politik, dan reformasi partai menjadi kunci untuk memperbaiki kualitas pilkada langsung, bukan mengganti sistemnya. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang lahir dari suara rakyat, bukan meja rapat elit.
Wacana pilkada melalui DPRD semestinya dikaji ulang secara matang. Demokrasi yang kuat tidak hanya mengandalkan efisiensi, namun juga menghargai kedaulatan rakyat melalui partisipasi langsung. Pemilihan langsung membawa semangat demokrasi lebih dekat kepada rakyat, dan prinsip itulah yang seharusnya dipertahankan.
Jika demokrasi dianggap untuk rakyat, oleh rakyat, dan bersama rakyat — maka pemilihan langsung adalah jalurnya, bukan sebaliknya.





