Cerita Pemuda Halmahera Timur, Dari Tambang ke Barbershop 

Unknown's avatar
Ilustrasi barberman sedang melayani pelanggan di BarberKing Semarang / Dok : KOMPAS.com

“Mau gunting model gimana, Ka?” tanya Dede, sambil tersenyum ramah di dalam sebuah barbershop modern di pusat Kota Ternate. Suaranya akrab, mencairkan suasana seperti sudah lama mengenal pelanggannya.

Mesin cukur berbunyi pelan di tangannya. Ruangan berpendingin udara itu terasa kontras dengan ruang-ruang kerja berdebu yang pernah ia datangi beberapa tahun lalu, ruang yang mengubah pandangannya tentang hidup.

Kisah Dede bermula di kampungnya di Gotowasi, sebuah desa di Maba Selatan, Halmahera Timur. Kawasan itu dikenal kaya akan sumber daya alam nikel, perkebunan hingga hasil lautnya. Namun, seperti banyak anak muda di daerah pertambangan, minat melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi kadang kalah oleh tawaran gaji cepat dari perusahaan tambang.

Begitu lulus Madrasah Aliyah (MA), Dede tak berpikir lama. Ia langsung bekerja di salah satu perusahaan milik negara, PT Aneka Tambang (Antam) di Buli. Selama delapan bulan ia bekerja di bagian preparasi.

“Pekerjaan saya memfilter tanah biasa dengan tanah yang ada kandungan nikelnya,” kenangnya sambil merapikan sisi rambut pelanggan. Di awal ia bangga usia muda, bekerja di tambang, dan bergaji tetap.

Namun perjalanan itu tak panjang. Ada persoalan internal yang membuat pria kelahiran tahun 2003 itu memilih mengundurkan diri.

“Saya keluar. Waktu itu juga memang ingin lihat kota. Jadi pas ada teman yang ajak ke Ternate, saya ikut,” katanya.

Kini, sudah 11 bulan ia menjadi barberman. Keputusan merantau, katanya, bukan hanya soal pekerjaan tetapi untuk mencari perspektif baru.

“Saya cuma dengar cerita orang kampung soal hidup di kota. Katanya keras, katanya mahal. Tapi setelah lihat sendiri, ternyata pikiran terbuka,” ujarnya. “Misalnya cuma jual pentolan saja, bisa hidup.”

Dede sebenarnya pernah bermimpi kuliah di Bandung, mengambil jurusan Teknik Pertambangan. Namun orang tuanya hanya mengizinkan ia berkuliah di Ternate.

“Kalau kuliah di sini, saya rasa sama saja. Teman-teman sekolah juga banyak di sini. Kalau kita kumpul terus, kita tidak maju,” ucapnya dengan nada datar namun tegas. “Kalau di Jawa itu beda, kita bisa belajar hal baru, wawasan lebih luas.”

Karena impiannya tidak mendapat restu, ia memilih bekerja dan membangun keterampilan lain. Kemampuan memotong rambut yang awalnya hanya coba-coba, kini menjadi sumber nafkah utama.

“Kalau dihitung-hitung, sebulan bisa dapat lima sampai enam juta,” katanya, disusul tawa kecil tawa yang mengandung lega dan sedikit bangga.

Dede kini menabung. Ia menata masa depannya pelan-pelan. Ada rencana yang ia simpan: membuka barbershop sendiri di kampung.

Apalagi ia mendengar kabar bahwa akan ada investasi perusahaan kelapa sawit di wilayah Gotowasi, meski kabarnya mendapat penolakan warga. Ada pula rumor tambang baru.

“Kalau nanti perusahaan datang, banyak orang masuk. Itu peluang,” ujarnya sembari menepuk pelan bahu pelanggannya sebagai tanda pekerjaan selesai. “Sekali-kali kita jadi bos sendiri,” candanya tapi matanya tidak bercanda.

Di ruang kecil penuh suara mesin cukur itu, Dede sedang merapikan rambut orang lain dan diam-diam, ia juga sedang merapikan arah hidupnya. Ia meninggalkan tambang bukan karena kalah, melainkan karena ingin mencari bentuk baru dari masa depan lebih mandiri, lebih manusiawi, dan lebih dekat dengan mimpinya.

Sesederhana itu, namun tidak semua orang punya keberanian memotong masa lalu seperti ia memotong rambut pelanggannya: tegas, rapi, dan dengan tujuan. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *