Ledakan Bom Ikan Meningkat, Ekosistem Laut Malut Kian Terancam

Unknown's avatar
Ilustrasi nelayan melakukan pengeboman ikan / Dok : Istimewa

LENTERA MALUT – Ledakan bom ikan, hingga tumpukan sampah plastik menjadi ancaman serius di perairan Maluku Utara. Dalam kurun Januari hingga November 2025, tercatat setidaknya 30 kasus pengeboman dan pembiusan ikan terjadi di wilayah ini, angka yang disebut bisa lebih besar karena banyak yang tidak dilaporkan.

Melihat situasi tersebut, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan bersama Netra Nusa dan Yayasan Aksi Kelola Ekosistem menggelar kampanye publik bertajuk “Torang Jaga Laut, Torang Sejahtera”. Kegiatan ini berlangsung saat car free day di Taman Nukila, Kota Ternate, Minggu (30/11/2025), dengan melibatkan masyarakat, aktivis lingkungan, hingga pemangku kebijakan daerah.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, Abdul Halim, mengatakan kampanye ini lahir dari rangkaian kajian lapangan terkait rantai pasok bom ikan, pasar ikan hasil destructive fishing, serta keterlibatan nelayan dalam melawan praktik Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing di Maluku Utara.

“Pesan Torang Jaga Laut, Torang Sejahtera lahir dari temuan bahwa destructive fishing masih masif, dan sebagian pelaku mendapatkan akses pasar yang tidak terputus,” ungkap Abdul Halim.

Kajian itu dilakukan di Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Selatan, dan Pulau Morotai selama November 2025. Sejumlah temuan menunjukkan maraknya praktik destructive fishing dan lemahnya sistem pengawasan laut.

Dari 30 kasus yang teridentifikasi, hanya 6 kasus yang berhasil ditindak aparat Direktorat Polairud Polda Maluku Utara.

Selain lemahnya pengawasan, Abdul Halim menyebut adanya laporan keterlibatan oknum aparat negara yang diduga membekingi praktik pengeboman ikan.

Tidak hanya destructive fishing, perilaku masyarakat yang terbiasa membuang sampah di sungai, sungai mati (kali mati), dan laut turut memperburuk kondisi ekosistem.

Meski begitu, temuan di Desa Guaeria (Halbar) dan Kampung Baru (Halsel) memberikan harapan. Di dua desa yang selama ini disebut sebagai wilayah asal sebagian pelaku pengeboman, para nelayan justru mengaku ingin keluar dari praktik merusak tersebut.

“Ada kemauan kuat dari nelayan dan perempuan nelayan untuk berubah, menangkap ikan secara berkelanjutan, dan hidup sejahtera tanpa merusak laut,” tambahnya.

Karena itu, pihaknya meminta pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Maluku Utara untuk mengambil langkah konkret melalui kebijakan afirmatif, penyusunan program yang terarah, serta alokasi anggaran untuk mendukung perubahan tersebut.

“Kami mendorong pemerintah memfasilitasi nelayan agar transisi menuju praktik perikanan berkelanjutan bisa terwujud,” tegas Abdul Halim.

Melalui kampanye ini, para pegiat lingkungan berharap kesadaran kolektif tumbuh: laut bukan musuh, tetapi sumber kehidupan yang harus dijaga. (Red)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *