LENTERA MALUT — Penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Maluku Utara dinilai belum berjalan efektif. Salah satu hambatan utama yang disoroti adalah ketimpangan distribusi polisi perempuan (Polwan) yang dinilai menumpuk di Polda Malut dan belum merata hingga ke tingkat Polsek—unit layanan terdekat bagi masyarakat.
Sorotan ini disampaikan Direktur Daulat Perempuan Maluku Utara (Daurmala), Nurdewa Syafar, dalam Dialog Publik Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang digelar Komnas Perempuan di Ternate, Sabtu (6/12/2025).
Ia menegaskan, keberadaan Polwan sangat penting dalam penanganan kasus sensitif seperti kekerasan seksual. Namun kenyataannya, distribusi personel tidak seimbang.
“Sampai sekarang tidak ada pemerataan Polwan. Yang menumpuk di Polda terlalu banyak. Padahal layanan yang paling cepat diakses itu di Polsek, bukan Polres apalagi Polda,” ujar Nurdewa.
Menurutnya, meski setiap tahun ada perekrutan anggota Polri, penempatan Polwan di Polsek masih minim.
“Minimal satu hingga dua Polwan ditempatkan di tiap Polsek. Bahkan di Kota Ternate, masih banyak Polsek yang akses Polwannya terbatas. Itu hambatan pertama yang dialami korban,” tambahnya.
Selain distribusi personel, ia juga menyoroti hambatan ekonomi yang kerap membuat korban enggan melapor.
“Kalau korban miskin dan tidak punya biaya mengakses keadilan, itu jadi hambatan besar. Banyak yang akhirnya tidak melapor,” kata Nurdewa.
Pernyataan tersebut belum memperoleh tanggapan dari Kapolres Ternate AKBP Anita Ratna yang sebelumnya juga telah menjadi narasumber, namun ia harus meninggalkan forum lebih awal dikarenakan harus mengikuti agenda lain.
Nurdewa mengungkapkan bahwa masalah ini sudah ia sampaikan ke Mabes Polri, termasuk Subdit TPPO dan TPPA. Karena itu, ia mendesak Kapolda Malut untuk mengevaluasi distribusi personel agar layanan penanganan korban lebih responsif dan berperspektif gender.
“Penanganan kekerasan perempuan bukan hanya soal kampanye. Harus ada kebijakan, evaluasi, anggaran, dan perbaikan sistem layanan,” tegasnya.
Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, turut menguatkan pandangan tersebut. Menurutnya, mayoritas korban perempuan merasa lebih aman dan nyaman melapor ke Polwan.
“Ketika korban datang melapor, situasinya sangat sensitif. Mereka butuh ruang aman dan petugas yang memahami trauma. Kalau Polwan minim atau tidak ada, prosesnya terhambat,” jelasnya.
Ia menilai pola distribusi saat ini belum mencerminkan kebutuhan layanan berbasis korban. Akibatnya, korban—khususnya kekerasan seksual—kerap terhambat sejak tahap awal pelaporan. Komnas Perempuan berkomitmen membawa temuan ini ke tingkat pusat sebagai bahan evaluasi pada Polri, khususnya bidang TPPA.
Dialog publik tersebut turut dihadiri pendamping korban, lembaga layanan perempuan, jurnalis, Dinas PPPA Maluku Utara, serta perwakilan DPRD Malut.
Menutup penyampaiannya, Nurdewa menegaskan bahwa negara memiliki tanggung jawab menciptakan akses keadilan tanpa hambatan.
“Korban butuh layanan yang mudah, cepat, gratis, dan aman. Selama sistem masih menyulitkan, maka kekerasan bukan hanya dilakukan pelaku, tetapi diperpanjang oleh negara,” tutupnya.
Redaksi masih berupaya memperoleh tanggapan resmi dari Polda Maluku Utara terkait kritik tersebut. Hingga berita ini dipublikasikan, Kabid Humas Polda Malut belum memberikan respons. (Red)







