Riset Hukum Dinilai Lemah, Penegakan Korupsi Perlu Berbasis Data

Unknown's avatar
Ilustrasi Riset / Dok : kemendagri.go.id

LENTERA MALUT – Lemahnya riset hukum di Indonesia dinilai menjadi salah satu akar persoalan dalam penegakan tindak pidana korupsi. Isu ini mencuat dalam Seminar Refleksi Akhir Tahun 2025 bertema “Tantangan Penegakan dan Keadilan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia” yang digelar secara hybrid di Gedung Widya Graha BRIN, Jakarta, Jumat (12/12/2025).

Seperti dikutip dari siaran pers brin.go.id Selasa, (16/12/2025), Kepala Pusat Riset Hukum, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nawawi, menegaskan pentingnya evaluasi menyeluruh terhadap konsistensi dan efektivitas penegakan hukum korupsi. Menurutnya, dinamika putusan pengadilan yang kerap berubah menimbulkan pertanyaan publik terkait kepastian dan rasa keadilan hukum.

Meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat capaian signifikan sepanjang 2020–2024—lebih dari 600 perkara ditangani dan pemulihan kerugian negara mencapai Rp2,5 triliun—tantangan masih besar. Pada semester pertama 2025 saja, KPK menerima lebih dari 2.200 laporan dugaan korupsi.

“Kami berharap seminar ini melahirkan rekomendasi strategis untuk memperkuat integritas penegakan hukum dan memulihkan kepercayaan publik,” ujar Nawawi.

Narasumber pertama, Harison Citrawan, mengkritik pendekatan penegakan hukum yang terlalu berfokus pada besaran kerugian negara. Menurutnya, esensi korupsi seharusnya dilihat dari unsur kesalahan dan kelayakan untuk dipersalahkan, bukan semata angka kerugian.

“Laporan audit BPK atau BPKP adalah alat bantu hakim, bukan kebenaran absolut. Fokus berlebihan pada angka justru bisa mengaburkan siapa yang sebenarnya menikmati hasil korupsi,” tegas Peneliti Kelompok Riset Teori dan Doktrin Hukum BRIN itu.

Sementara itu, Zaihan Harmaen menyoroti fragmentasi regulasi antikorupsi yang dinilai menyulitkan penegak hukum. Tumpang-tindih aturan—mulai dari UU Tipikor, UU KPK, UU TPPU hingga KUHP baru—kerap membuka ruang perdebatan hukum dalam setiap perkara. Ia juga mengkritik perubahan UU KPK 2019 yang menempatkan KPK dalam rumpun eksekutif.

“Selain regulasi dan kelembagaan, budaya hukum masyarakat memegang peran penting dalam pencegahan korupsi,” ujar Peneliti Kelompok Riset Ketatanegaraan BRIN tersebut.

Narasumber lainnya, Budi Suhariyanto, menekankan bahwa hukum pidana seharusnya menjadi ultimum remedium atau upaya terakhir. Ia mendorong pemanfaatan mekanisme administratif dan pendekatan restoratif, termasuk deferred prosecution agreement (DPA), khususnya dalam penanganan perkara korporasi.

“Banyak kasus korupsi hari ini bukan lagi soal kebutuhan, melainkan keserakahan,” katanya.

Sebagai penanggap, Rifqi Sjarief Assegaf dari Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) menyoroti tiga persoalan utama pemberantasan korupsi: lemahnya riset hukum, minimnya data kriminal nasional, dan ketidakjelasan konsep kerugian negara. Ia menekankan pentingnya integrasi data nasional, seperti melalui sistem SPPT-TI, agar kebijakan penegakan hukum benar-benar berbasis bukti.

“Tidak semua pelanggaran SOP otomatis merupakan korupsi. Harus ada niat menguntungkan diri sendiri atau pihak lain. Pembaruan regulasi wajib ditopang riset kuat dan data akurat agar penegakan hukum adil dan tidak menimbulkan kriminalisasi berlebihan,” pungkas Rifqi. (BRIN)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *