LENTERA MALUT – Kunjungan mendadak Gubernur Maluku Utara Sherly Tjoanda ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Maluku Utara memantik perhatian publik. Di tengah mencuatnya kasus dugaan korupsi proyek Rumah Sakit Pratama (RSP) Halmahera Barat, langkah orang nomor satu di Maluku Utara itu justru menimbulkan beragam tafsir dan kecurigaan.
Tak seperti agenda resmi pemerintahan yang biasanya dikawal protokoler lengkap, kunjungan Sherly ke kantor Adhyaksa kali ini terkesan senyap. Gubernur perempuan pertama di Maluku Utara itu hanya didampingi beberapa ajudan saat tiba di Kejati Malut, Rabu (24/12/2025), sekitar pukul 13.24 WIT, di Kelurahan Stadion, Kota Ternate.
Kehadiran Sherly yang terbilang mendadak itu sontak menarik perhatian awak media. Saat hendak memasuki mobil hitam berpelat DG 1, sejumlah wartawan mencoba meminta keterangan. Namun, Sherly yang tampak tergesa hanya memberikan pernyataan singkat.
“Belum, hanya silaturahmi saja. Terima kasih,” ujarnya, sembari meninggalkan lokasi.
Meski demikian, informasi yang dihimpun menyebutkan kunjungan tersebut berkaitan dengan peninjauan lokasi kegiatan yang telah dirancang Kejati Malut. Salah satunya rencana penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Pemerintah Provinsi Maluku Utara yang dijadwalkan berlangsung pada 7 Januari 2026 di Aula Falamo Kejati Malut.
Agenda tersebut rencananya akan dihadiri seluruh bupati dan wali kota se-Maluku Utara, seiring dengan pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru.
Namun, di luar agenda formal tersebut, kehadiran Sherly ke Kejati Malut justru menuai sorotan tajam. Kunjungan itu dinilai sensitif karena beriringan dengan mencuatnya kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Rumah Sakit Pratama (RSP) Halmahera Barat, yang menyeret nama pihak keluarga gubernur sebagai rekanan proyek.
Sorotan keras datang dari kalangan aktivis dan praktisi hukum anti-korupsi di Maluku Utara. Mereka menilai manuver Sherly di tengah pusaran kasus hukum tersebut berpotensi menimbulkan kesan cawe-cawe.
Praktisi hukum sekaligus pengamat kebijakan publik, Dr. Hendra Karianga, secara terbuka mempertanyakan langkah gubernur yang dinilainya terlalu jauh mencampuri urusan hukum di daerah lain.
“Ini kan dugaan kasus korupsi yang terjadi di Kabupaten Halmahera Barat. Kenapa gubernur justru terlihat kepo dan cawe-cawe?” kata Hendra seperti mengutip Media Grup, Kamis (25/12/2025).
Hendra menduga kunjungan Sherly ke Kejati Malut berkaitan langsung dengan proyek RSP Halbar yang kini bermasalah. Ia bahkan menyebut kedatangan gubernur itu sebagai upaya mencari ‘perlindungan’ hukum, mengingat proyek tersebut menyeret nama Joni (Koko) Laos—adik ipar Sherly—serta Fendi, pengusaha yang disebut-sebut kerap mengerjakan proyek pengadaan alat kesehatan di Maluku Utara.
“Korupsi itu urusan hukum. Tidak bisa dinegosiasikan. Korupsi tetap korupsi,” tegas Hendra.
Ia pun meminta Kepala Kejati Malut, Dr. Sufari, agar bersikap transparan dan hati-hati dalam menyampaikan pernyataan kepada publik, sehingga tidak menimbulkan keraguan maupun ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum.
Menurut Hendra, penyelesaian proyek mangkrak RSP Halbar tidak bisa semata-mata digiring sebagai persoalan administratif, sebab dugaan penyimpangan anggaran dinilai terjadi secara nyata.
Sebelumnya, Kepala Kejati Malut Dr. Sufari menyampaikan bahwa proyek RSP Halbar bukan mangkrak, melainkan dihentikan sementara akibat adanya pemindahan lokasi. Pemindahan tersebut, kata dia, masih dalam tahap kajian untuk menentukan apakah proyek dapat dilanjutkan atau tidak.
Ia juga membenarkan bahwa Gubernur Sherly meminta Kejati Malut mengkaji proyek pembangunan RSP Halbar yang menyedot anggaran APBN 2024 senilai Rp42 miliar tersebut.
Secara prinsip, kunjungan kepala daerah ke institusi kejaksaan memang diperbolehkan sebagai bagian dari koordinasi antar-lembaga. Namun, dalam situasi yang sensitif secara hukum—terutama ketika terdapat dugaan penyelidikan atau penyidikan—netralitas, kehati-hatian, dan profesionalitas menjadi kunci utama untuk menjaga kepercayaan publik. (Red)







