LENTERA MALUT – Keputusan Dewan Pengupahan Provinsi Maluku Utara dalam menetapkan upah minimum kembali menuai kritik keras dari kalangan buruh. Penetapan kenaikan upah yang dinilai minim itu disebut tidak mencerminkan rasa keadilan, bahkan dianggap lebih berpihak kepada kepentingan pemodal dibanding kesejahteraan pekerja.
Kritik tajam tersebut disampaikan Akbar Muhammad, Wakil Sekretaris Partai Buruh Maluku Utara, melalui keterangan pers yang diunggah di akun Facebook, Selasa (23/12/2025). Dalam pernyataannya, Akbar menilai Dewan Pengupahan Malut telah mengabaikan jerih payah buruh yang selama ini menjadi penggerak utama ekonomi daerah.
“Kaum buruh seharusnya mendapat tempat terhormat, bukan justru diperlakukan layaknya babu di tanah sendiri,” tegasnya.
Menurut Akbar, lonjakan pertumbuhan ekonomi Maluku Utara tidak lahir begitu saja. Angka-angka PDRB yang terus meningkat, ekspor yang melonjak, serta pujian terhadap kemajuan daerah, kata dia, merupakan hasil dari keringat, tenaga, bahkan nyawa para buruh—khususnya mereka yang bekerja di sektor-sektor berisiko tinggi seperti pertambangan.
“Setiap pertumbuhan ekonomi dibayar mahal oleh buruh. Kami yang bekerja di garis terdepan, menanggung risiko, sementara hasilnya justru lebih banyak dinikmati segelintir elit,” ujarnya.
Diketahui, Dewan Pengupahan Provinsi Maluku Utara telah mengesahkan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) Maluku Utara sebesar Rp3.552.840, atau naik Rp144.840 dari tahun sebelumnya. Persentase kenaikan tercatat hanya sekitar 4,24 persen.
Akbar menilai, penetapan tersebut tidak sesuai dengan formulasi perhitungan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tentang Pengupahan, yakni inflasi ditambah pertumbuhan ekonomi, kemudian dikalikan faktor alfa dengan rentang 0,5 hingga 0,9.
Ia mengungkapkan, dengan pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang mencapai 33,19 persen dan inflasi yang justru berada di angka minus 0,17, semestinya kenaikan upah buruh bisa menyentuh kisaran 29 hingga 30 persen jika menggunakan pengali maksimal 0,9.
“Ini bukan tuntutan ngawur. Ini hak buruh yang dihitung berdasarkan formula pemerintah sendiri. Ketika hasilnya adil, mengapa justru dikhianati?” tegasnya.
Kekecewaan semakin mendalam karena Dewan Pengupahan Malut yang diketuai Kepala Disnakertrans Malut, Marwan Polisiri, serta melibatkan unsur akademisi, APINDO, dan perwakilan serikat buruh seperti SPSI dan SPN, justru menyepakati kenaikan upah yang dinilai jauh dari harapan pekerja.
Akbar juga menyoroti sikap sebagian serikat buruh yang dinilainya ikut melanggengkan ketidakadilan. Alasan klasik seperti kekhawatiran naiknya harga barang dan ancaman PHK disebutnya hanya menjadi dalih lama untuk menekan buruh.
“Perusahaan besar, terutama di sektor tambang dan industri, terus mencetak keuntungan miliaran rupiah. Kapan mereka benar-benar rugi? Yang ada justru eksploitasi tanpa henti,” katanya.
Ia menegaskan, kenaikan upah buruh sejatinya bukan beban, melainkan investasi untuk menggerakkan ekonomi riil. Ketika buruh memiliki pendapatan lebih, uang tersebut akan berputar di daerah—menghidupkan warung, pasar, transportasi, hingga sektor informal lainnya.
“Ekonomi tidak akan runtuh karena upah naik. Justru ekonomi akan tumbuh dari bawah,” tambahnya.
Akbar menutup pernyataannya dengan mengingatkan bahwa keputusan Dewan Pengupahan Malut akan tercatat dalam ingatan kolektif kaum buruh Maluku Utara. Menurutnya, keberpihakan terhadap pemodal hanya akan memperlebar jurang ketimpangan dan memiskinkan ribuan keluarga pekerja.
“Sejarah akan mencatat siapa yang berdiri bersama buruh, dan siapa yang memilih berpihak pada ketidakadilan,” pungkasnya.







