DLH Maluku Utara Evaluasi Dua Perusahaan Tambang di Wasile

Unknown's avatar

LENTERA MALUT — Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Maluku Utara langsung turun tangan. Dipimpin Plt Kepala DLH Malut, Halim Muhammad, tim melakukan peninjauan lapangan pada Kamis (27/11/2025) di dua perusahaan tambang yang beroperasi di wilayah itu, yakni PT Jaya Abadi Semesta (JAS) dan PT Alam Raya Abadi (ARA).

Hal ini menindaklanjuti laporan warna laut berubah keruh, hasil rumput laut turun drastis, hingga sawah yang tak lagi menghasilkan panen optimal. Keluhan demi keluhan mulai muncul dari warga Kecamatan Wasile, Kabupaten Halmahera Timur.

Banyak yang menduga penyebabnya bukan lagi faktor alam, melainkan aktivitas pertambangan nikel yang semakin masif di kawasan tersebut.

“Peninjauan ini adalah instruksi langsung dari Ibu Gubernur Sherly Tjoanda setelah muncul laporan pencemaran lingkungan,” ujar Halim.

Dalam inspeksi tersebut, tim DLH bersama empat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) mengevaluasi sistem pengelolaan limbah sedimen tambang dan jalur pembuangan air dari kedua perusahaan. Mereka juga turun langsung ke Desa Fayaul, lokasi yang disebut warga sebagai titik penurunan drastis hasil panen rumput laut.

Menurut Halim, PT JAS membantah dugaan pencemaran laut. Perusahaan menyebut lokasi tambang mereka tidak memiliki aliran sungai atau kanal yang mengarah ke Desa Fayaul. Namun, kata Halim, pembuktian teknis tetap diperlukan.

“Ada fakta gagal panen. Jika perlu, PT JAS harus membuktikan secara teknis bahwa aktivitas mereka tidak mencemari lingkungan,” tegasnya.

Di area dermaga pemuatan ore nikel, DLH menyatakan kondisi permukaan laut terlihat normal, tetapi perusahaan tetap diminta memperkuat tanggul penahan limpasan air dan menanam cover crop untuk mencegah keruhnya air saat hujan.

Dugaan Sawah Tercemar, PT ARA Kena Sanksi

Saat beralih ke PT ARA, perusahaan juga membantah telah mencemari sawah warga Desa Bumirestu. Mereka menyebut limpasan sedimen yang terjadi pada 26 Oktober 2025 berasal dari area tambang PT JAS yang berada di posisi lebih tinggi.

Namun koordinasi dengan Inspektur Tambang Kementerian ESDM menunjukkan bahwa PT ARA tetap diberikan sanksi penghentian sementara dan tujuh poin perintah perbaikan.

“PT ARA sudah menindaklanjuti tujuh temuan itu, termasuk membayar kompensasi kepada 11 petani pada 16 November 2025,” jelas Halim.

Halim menegaskan, kedua perusahaan harus meningkatkan pengelolaan limbah dan bekerja sama membangun kolam pengendapan besar agar air tambang tidak lagi meluap ke sungai maupun irigasi persawahan.

“Pertambangan boleh berjalan, tapi jangan sampai masyarakat menjadi korban,” ujarnya.

Kepala Desa Fayaul, Kamarudin Abdurahim, mengaku belum dapat memastikan penyebab kerusakan rumput laut, tetapi hasil panen turun signifikan dalam dua tahun terakhir.

“Dulu satu petak 50×30 meter bisa dapat 1–3 ton. Sekarang jauh sekali turun,” katanya.

Warga berharap pemerintah segera merilis hasil kajian teknis, apakah kerusakan ini disebabkan penyakit tanaman atau dampak tambang.

Bagi masyarakat pesisir dan petani, jawabannya sangat penting—karena tanah dan laut bukan sekadar sumber ekonomi, tetapi warisan hidup yang telah mereka jaga turun-temurun. (Red)

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *