Nurjaya, “Ibu Dewan” yang Tak Segan Turun ke TKP

Unknown's avatar
Anggota DPRD Kota Ternate, Nurjaya Hi Ibrahim / Dok : LM

Oleh: Redaksi Lentera Malut

Di tengah gemerlap rapat-rapat formal dan debat panjang di ruang parlemen Kota Ternate, sosok satu ini tampil berbeda. Nurjaya Hi Ibrahim, politisi perempuan dari Partai Gerindra, memilih jalur yang jarang dilalui rekan-rekannya: terjun langsung ke lapangan, menyapa warga, dan mengendus masalah dari akarnya. Bukan dari balik meja, tapi dari titik-titik yang sering luput dari sorotan.

Sudah setahun sejak ia meninggalkan kursi ASN dan duduk di Komisi III DPRD Kota Ternate. Tapi publik masih saja dibuat tercengang oleh gayanya yang “cepat panas” ketika mendengar laporan warga.

Ia tak menunggu undangan resmi atau pembahasan rapat. Baginya, panggilan rakyat adalah mandat yang harus dijawab langsung — bahkan jika itu artinya menyusuri lorong-lorong sempit kampung dengan sandal jepit.

“Kalau bisa diselesaikan hari ini, kenapa harus tunggu besok?” katanya suatu waktu, seusai menginspeksi penimbunan minyak tanah di Bastiong.

Dari Laboratorium hingga Limbah Medis Ilegal

Komitmennya untuk menyoroti isu kesehatan bukan hanya janji kampanye. Dengan latar belakang sebagai tenaga kesehatan, Nurjaya tahu persis di mana titik rawan sistem layanan publik.

Ketika mengunjungi gudang obat milik Pemkot Ternate ia mendapati kondisi yang mengenaskan: bangunan tak layak dan obat-obatan yang mubazir. Sementara di laboratorium ada alat-alat pemeriksaan kesehatan yang tak digunakan maksimal.

Namun investigasi paling menggemparkan justru datang dari rumah sakit terbesar di Ternate, RSUD Chasan Boesoirie. Di sana, Nurjaya menemukan limbah medis yang dikelola tanpa izin resmi dari Kementerian Lingkungan Hidup. Parahnya lagi, Dinas Kesehatan disebut telah menarik pungutan selama bertahun-tahun tanpa ada satu rupiah pun masuk ke kas daerah.

“Saya hanya ingin memastikan rakyat tidak dirugikan,” ucapnya tenang, namun tegas.

Berburu Minyak Tanah, Melawan Mafia Kecil

Di awal 2025, kelangkaan minyak tanah menjadi keluhan utama warga Dapil II, Ternate Selatan dan Moti. Nurjaya tak menunggu sidang. Ia memilih menyusuri pangkalan demi pangkalan, bertanya langsung ke ibu-ibu yang antre sambil membawa jeriken. Di Sasa, dia berhasil membongkar praktik penimbunan. Di Bastiong, ia menemukan lebih dari satu ton minyak tanah disimpan secara ilegal.

“Saya tahu rasanya jadi ibu rumah tangga. Kalau harga naik dan stok kosong, siapa yang paling susah? Ya mereka yang di dapur,” ujarnya.

Beberapa rekannya di parlemen sempat menyindir langkahnya yang dianggap “menyalahi wilayah kerja Komisi II.” Tapi Nurjaya tidak ambil pusing. “Pengawasan itu bukan milik satu komisi saja. Selama itu menyangkut rakyat, saya punya hak dan tanggung jawab untuk turun,” katanya, mantap.

Reses yang Selalu Penuh, dan Warga yang Percaya

Tiap masa reses, Nurjaya nyaris tak pernah duduk sendirian. Warga berbondong-bondong hadir, membawa harapan dan keluh kesah. Dari persoalan tambang pasir ilegal di Kalumata yang membuat warga menghirup debu bertahun-tahun, hingga laporan pelanggaran ketenagakerjaan oleh distributor sembako yang tak menggaji pekerja sesuai UMR dan tanpa BPJS.

“Ada karyawan di situ, 6 tahun kerja tapi belum punya BPJS. Ini menyakitkan,” ucapnya saat sidak ke salah satu toko grosir.

Sosoknya yang ceplas-ceplos, jauh dari formalitas, justru membuat warga nyaman. Ia tidak sekadar datang, tapi juga mendengar, mencatat, dan — yang paling penting — menindaklanjuti.

Bukan Pencitraan, Tapi Panggilan Hati

Dalam dunia politik yang sarat skeptisisme (keragu-raguan), wajar jika ada yang curiga: benarkah semua ini bukan sekadar pencitraan? Nurjaya menjawab dengan tindakan, bukan narasi. Bahkan ketika ada “pesan sponsor” atau imbalan agar ia tak melanjutkan pengusutan suatu kasus, ia memilih menjauh.

“Pernah ada yang jabat tangan sambil selipkan sesuatu. Saya bilang, jangan. Saya juga masih ada,” ungkapnya.

Ia tahu, sebagai politisi, langkahnya bisa disalahartikan. Tapi itu tak membuatnya gentar. Nurjaya tidak mengejar pujian. Ia hanya ingin memastikan sedikit kuasa yang dimilikinya di kursi legislatif bisa memberi dampak nyata bagi warga.

“Kalau saya bisa bantu ibu-ibu di rumah, agar bisa masak tanpa bingung cari minyak tanah, itu sudah cukup buat saya,” ucap ibu dari sembilan anak ini.

Nurjaya bukanlah politisi biasa. Ia adalah representasi dari wajah politik yang seharusnya: mendengar, melihat, dan bertindak. Dalam senyap dan kesederhanaannya, ia menjelma menjadi suara mereka yang jarang terdengar. Dan selama masih ada warga yang membutuhkan, Nurjaya tak akan pernah benar-benar duduk diam di balik meja dewan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *