LENTERA MALUT – Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menutup buku perkara uji materiil yang diajukan Ahmad Rizaldi. Bukan karena pokok permohonannya dipatahkan lewat perdebatan panjang, melainkan karena sang Pemohon tak kunjung hadir di persidangan. Peristiwa saat itu perkara sudah dipanggil, sidang sudah dibuka, tapi Pemohon masih “di luar jangkauan kamera”.
Ketua MK Suhartoyo menjelaskan, Mahkamah sejatinya telah menerima permohonan Nomor 220/PUU-XXIII/2025. Pada Senin, 24 November 2025 pukul 09.46 WIB, juru panggil MK sudah menghubungi Pemohon melalui pesan singkat untuk memastikan kehadirannya dalam Sidang Pendahuluan, sekaligus mengingatkan agar hadir di ruang sidang paling lambat 30 menit sebelum persidangan dimulai.
Responsnya? Pemohon mengaku sedang berada di luar wilayah Republik Indonesia.
Tak berhenti di situ, pada pukul 10.02 WIB juru panggil kembali menghubungi Pemohon untuk memastikan kemungkinan mengikuti sidang secara daring. Namun jawaban yang diterima tetap sama: Pemohon tak bisa hadir, baik luring maupun daring, lantaran sedang bekerja dan berada di Brunei Darussalam.
Hingga sidang dibuka pada pukul 14.10 WIB dengan agenda mendengarkan pokok-pokok permohonan, kursi Pemohon tetap kosong. Ketua Panel pun melakukan konfirmasi, yang berujung pada satu kesimpulan sederhana: Pemohon tidak hadir.
Dalam Sidang Pengucapan Ketetapan yang digelar Rabu (17/12/2025) dari Ruang Sidang Pleno Gedung I MK, Suhartoyo menyampaikan bahwa ketidakhadiran Pemohon tanpa alasan yang sah—padahal telah dipanggil secara patut—menunjukkan Pemohon tidak sungguh-sungguh mengajukan permohonannya.
Kesimpulan itu diperkuat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim pada 25 November 2025. Hasilnya, MK sepakat perkara tersebut tidak bisa dilanjutkan.
“Menyatakan permohonan Pemohon gugur,” ucap Suhartoyo, singkat namun tegas.
Sebagai catatan, dalam permohonannya Ahmad Rizaldi mempersoalkan independensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), khususnya terkait penempatan penyidik dari Polri dan Kejaksaan. Menurut Pemohon, praktik tersebut berpotensi menimbulkan konflik kepentingan, melemahkan asas equality before the law, serta mengganggu akuntabilitas publik.
Pemohon juga menyoroti perubahan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) yang dinilai mengikis independensi lembaga antirasuah. Padahal, Putusan MK Nomor 36/PUU-XV/2017 telah menegaskan KPK sebagai lembaga negara independen di luar cabang kekuasaan eksekutif.
Selain itu, Pemohon menilai penugasan personel Polri dan Kejaksaan di KPK berpotensi menimbulkan dualisme komando dan benturan kepentingan. Ia berpendapat, KPK semestinya diisi penyidik dan penyelidik sipil independen yang direkrut secara nasional berbasis merit dan integritas.
Atas dasar itu, Pemohon meminta MK menyatakan sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 19 Tahun 2019—mulai dari status ASN pegawai KPK, kewenangan Dewan Pengawas dalam penyadapan, hingga penugasan aparat dari institusi lain—bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Namun apa daya, sebelum substansi diuji, kehadiran Pemohon lebih dulu diuji. Dan kali ini, MK menilai Pemohon tak lulus ujian absensi. (Red)







