LENTERA MALUT – Gelombang penolakan kembali mengemuka di Halmahera Selatan setelah Badan Bank Tanah (BBT) melanjutkan kebijakan ekspansi Hak Pengelolaan Lahan (HPL) di wilayah tersebut.
Masyarakat adat Wayatim merasa langkah perluasan itu mengancam ruang hidup mereka dan dilakukan tanpa transparansi yang memadai, sehingga memunculkan ketegangan baru antara warga dan pemerintah.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa BBT telah mencatat aset seluas 33.115,6 hektare di 45 kabupaten/kota sepanjang 2024. Memasuki 2025, program perluasan HPL berlanjut di 21 provinsi, termasuk Halmahera Selatan dengan luas yang ditetapkan mencapai 3.890,2 hektare.
Tokoh masyarakat Wayatim, Yusran Sangaji, menyebut percepatan program ini berlangsung setelah serangkaian pertemuan antara BBT dan pemerintah daerah. Dimulai dari audiensi dengan Bupati Halmahera Selatan pada 30 Juli 2025, penandatanganan MoU pada 8 Agustus, hingga sosialisasi dan pembahasan teknis lokasi.
“Bupati menerbitkan rekomendasi penetapan HPL pada 11 Agustus, yang mencakup pelepasan kawasan hutan seluas 31.796 hektare,” ujar Yusran, Sabtu (22/11/2025).
BBT menyampaikan bahwa pengembangan HPL di Halsel merupakan bagian dari program agromaritim dan pengembangan hilirisasi kelapa yang dicanangkan Bupati Hasan Ali Bassam Kasuba.
Total luasan HPL untuk program tersebut mencapai 8.735 hektare, tersebar di Bacan, Bacan Timur, Bacan Timur Tengah, Gane Barat Selatan, Gane Timur Selatan, hingga Kepulauan Joronga.
Namun masyarakat Wayatim menolak program ini. Mereka menilai area yang dijadikan HPL mencakup lahan-lahan perkebunan yang telah dikelola turun-temurun.
“Di situ ada kelapa, cengkeh, pala, kakao, kenari. Bahkan Pulau Paniki yang masuk kawasan HPL adalah Hutan Lindung,” tegas Yusran.
Penolakan juga datang dari kalangan pemuda. Tokoh pemuda Wayatim, Andi Abdi, menyatakan bahwa warga tidak memiliki sertifikat atas lahan dan diminta BBT untuk mengelolanya sebagai Hak Pakai, bukan hak milik.
“Kami merasa tanah kami diambil alih sepihak. Program ini tidak transparan,” ujarnya.
Menurut Andi, konflik yang muncul menunjukkan adanya benturan antara program pembangunan dan hak masyarakat adat yang menggantungkan hidup pada tanah. Karena itu, warga mendesak pemerintah dan BBT untuk melibatkan masyarakat dalam seluruh tahapan kebijakan.
Sebagai tambahan, perluasan kawasan oleh Bank Tanah juga mendapat dukungan pemerintah provinsi. Gubernur Maluku Utara sebelumnya telah menandatangani MoU dengan BBT pada 8 Oktober 2025 di Jakarta. Sekitar 200 ribu hektare APL disebut berpotensi menjadi HGU BBT untuk mendukung program hilirisasi kelapa. (Red)







