Sherly Tjoanda: Dari Panggung Medsos ke Pusaran Kekuasaan dan Bisnis Tambang

Unknown's avatar
Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda Laos saat menemui warga Jambula Ternate yang sempat memblokade jalan dengan aksi protes menuntut Pemerintah Provinsi segera membangun proyek pemecah ombak untuk pengamanan perahu dan kapal nelayan yang sering diterpa gelombang tinggi / Dok : Biro Adpim Malut

Suatu sore di Pantai Landmark Ternate, usai kedatangannya dari Sofifi, sekelompok mahasiswi berebut mengangkat ponsel mereka. “Bu Sherly! fotoi dulu!” teriak salah satu di antara mereka. Sosok perempuan berbalut dress pink itu tersenyum, melambaikan tangan, lalu mengizinkan mereka berswafoto. Di media sosial, momen seperti ini bukan hal baru. Tiap langkahnya disorot, setiap ucapannya ditunggu.

Popularitas Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, hari ini seolah melampaui batas geografis provinsi yang ia pimpin. Di TikTok, 1,8 juta orang menjadi pengikutnya, dan lebih dari 49 juta pengguna menyukai konten yang ia unggah. Ia bukan sekadar pejabat, tapi juga fenomena digital politik — diidolakan bukan hanya karena parasnya, tetapi juga karena kefasihannya menjawab persoalan publik dari akar rumput.

Namun, di balik sorotan kamera dan citra elegan itu, terdapat kisah panjang tentang kekuasaan, bisnis, dan kontroversi yang membentuk jalan hidupnya hingga kini.

Dari Bayang Benny Laos ke Panggung Politik

Sherly Tjoanda bukan nama asing di lingkaran elite Maluku Utara. Ia adalah istri dari mendiang Benny Laos, mantan Bupati Pulau Morotai dua periode yang wafat dalam kecelakaan saat masih berstatus sebagai calon Gubernur Maluku Utara.

Sejak masa kampanye bersama sang suami, Sherly sudah akrab dengan kamera dan publik. Ia mengabadikan setiap momen blusukan, menyapa warga desa, hingga tawa ringan di sela kampanye. Setelah tragedi itu, koalisi partai pengusung memintanya meneruskan langkah Benny. Sherly menerima, dan sejarah pun mencatat: ia berhasil memenangkan Pilkada, menjadi Gubernur perempuan pertama Maluku Utara.

Bagi sebagian orang, kisah Sherly adalah drama politik penuh takdir dan harapan baru. Namun bagi yang lain, perjalanan ini juga menandai kelanjutan pengaruh keluarga Benny Laos dalam jaringan ekonomi dan bisnis ekstraktif yang menggurita di Maluku Utara.

Gurita Bisnis di Balik Nama Sherly Tjoanda

Di luar dunia politik dan konten digital, Sherly adalah seorang pengusaha multi-sektor. Jejak bisnisnya terbentang dari perhotelan, jasa konstruksi, hingga industri tambang dan kehutanan.

Laporan Simpul Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Maluku Utara menyebut sedikitnya enam perusahaan berbasis lahan terhubung langsung dengan Sherly, sebagian besar melalui kepemilikan saham mayoritas. Perusahaan-perusahaan itu antara lain:

  • PT Indonesia Mas Mulia, pemegang IUP emas seluas 4.800 hektare di Bacan Barat Utara. Aktivitasnya dituding merusak lahan kelapa dan mencemari Sungai Lele yang menjadi sumber air warga Desa Yaba.
  • PT Amazing Tabara, pemegang IUP emas di Pulau Obi. Ditolak warga karena berpotensi merusak pemukiman, lahan produktif, dan kawasan lindung mangrove. Izin perusahaan ini akhirnya dicabut pada April 2022.
  • PT Bela Sarana Permai, dengan konsesi pasir besi di Desa Woi, Halmahera Selatan. Penolakan keras warga memaksa pemerintah desa mengeluarkan resolusi untuk mencabut izin.
  • PT Karya Wijaya dan PT Bela Kencana, dua perusahaan tambang nikel di Gebe dan Obi Selatan, disebut menambah beban kerusakan ekologis di wilayah pesisir.
  • PT Bela Berkat Anugerah, perusahaan kehutanan seluas 33.880 hektare di Pulau Bacan, juga masih memiliki jejak kepemilikan keluarga Benny-Sherly. Dalam hampir semua perusahaan itu, Sherly dan mendiang suaminya tercatat sebagai pemegang saham utama melalui PT Bela Group, perusahaan holding keluarga.

Janji Hijau di Tengah Debu Tambang

Menariknya, dalam debat kandidat Pilgub Maluku Utara 2024, Sherly menekankan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan. Ia menyoroti rusaknya Teluk Weda dan Teluk Buli akibat aktivitas tambang nikel, menyebut perlunya menata kembali tata kelola sumber daya alam.

“Lingkungan adalah masa depan anak-anak kita,” ujarnya kala itu — kalimat yang viral dan penuh resonansi moral.

Namun, setelah ia terpilih, publik mulai mempertanyakan: bisakah seorang pemimpin dengan jejak bisnis tambang memimpin agenda pemulihan lingkungan?

Apalagi, arah politik nasional pemerintahan Prabowo-Gibran — yang menjadi afiliasi politik dari sebagian besar partai pengusung Sherly — berfokus pada hilirisasi nikel. Kebijakan ini menjadi prioritas pusat, dan Maluku Utara adalah episentrum proyek tersebut. Maka, janji “ekonomi hijau” yang digaungkan Sherly kini tampak seperti pepesan kosong di tengah deru alat berat dan debu tambang yang kian menyesaki udara.

Di Antara Citra dan Realitas

Sherly Tjoanda hari ini adalah simbol dua wajah kepemimpinan modern: di satu sisi figur perempuan kuat yang bangkit dari kehilangan dan merebut simpati rakyat lewat pendekatan digital; di sisi lain, bagian dari elite ekonomi-politik lama yang ikut menanam akar dalam bisnis ekstraktif dan patronase kekuasaan.

Di panggung media sosial, ia tampak memimpin dengan empati dan kehangatan. Tapi di lapangan, jejak tambang yang ditinggalkan oleh jaringan bisnis yang terhubung dengannya masih menyisakan luka ekologis dan sosial bagi warga Maluku Utara.

Pertanyaannya kini bukan lagi seberapa populer Sherly Tjoanda di TikTok, tetapi mampukah ia menyeimbangkan citra dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin di daerah yang terus digerogoti oleh industri tambang? (Red)

 

Sumber : Laporan Jatam berjudul / Bencana Ekstraktivisme Yang Teroganisir di Maluku Utara

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *