LENTERA MALUT – Ketika negara menagih tanggung jawab atas kerusakan hutan, tidak semua korporasi menyambutnya dengan lapang dada. PT Weda Bay Nickel, perusahaan tambang nikel berskala global di Maluku Utara, memilih mengajukan keberatan atas denda triliunan rupiah yang dijatuhkan Satgas PKH.
Dari hasil penertiban, Pemerintah melalui Satuan Tugas Penataan Kawasan Hutan (Satgas PKH) terhadap perusahaan tambang dan perkebunan sawit yang terbukti merusak kawasan hutan, tercatat sebanyak 71 perusahaan dinyatakan melakukan pelanggaran dan diwajibkan membayar denda administratif senilai Rp38,6 triliun.
Salah satu perusahaan yang tercatat mengajukan keberatan adalah PT Weda Bay Nickel, raksasa tambang nikel di Maluku Utara.
Ketua Tim Tenaga Ahli Jaksa Agung sekaligus Juru Bicara Satgas PKH, Barita Simanjuntak, melansir inilah.com di Jakarta lada Sabtu (13/12/2025) menjelaskan bahwa denda tersebut dikenakan kepada 49 perusahaan sawit dan 22 perusahaan tambang.
Dari total nilai denda, sebesar Rp9,42 triliun dibebankan kepada sektor sawit, sementara Rp29,2 triliun kepada sektor pertambangan. “Sebagian perusahaan telah membayar, ada yang meminta waktu, dan ada satu perusahaan yang mengajukan keberatan,” kata Barita.
Perusahaan tambang yang dimaksud adalah PT Weda Bay Nickel. Meski demikian, Satgas PKH masih membuka ruang komunikasi. “Untuk korporasi yang mengajukan keberatan, Satgas PKH memberikan ruang dialog,” ujar Barita.
Sebelumnya, pada 11 September 2025, Satgas PKH telah menyegel lahan tambang PT Weda Bay Nickel di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Penyegelan dilakukan langsung oleh Kepala Staf Umum TNI Letjen TNI Richard Tampubolon bersama Jampidsus Kejaksaan Agung Febrie Adriansyah, bersamaan dengan penertiban tambang lain di Sulawesi Tenggara.
Dalam penertiban tersebut, Satgas PKH menetapkan area tambang Weda Bay Nickel sebagai objek yang dikuasai negara, setelah perusahaan terbukti membuka lahan secara ilegal seluas 148,25 hektare. Atas pelanggaran itu, negara menjatuhkan sanksi denda administratif dan menetapkan kawasan tersebut untuk pemulihan fungsi hutan.
Richard Tampubolon menegaskan, penertiban kawasan tambang tidak dilakukan secara serampangan. Seluruh proses, kata dia, melalui tahapan klasifikasi, identifikasi, serta koordinasi lintas lembaga. “Kepastian hukum menjadi prinsip utama. Jika izin lengkap, penertiban dilakukan sesuai koridor hukum. Namun jika ada pelanggaran, sanksi tegas pasti dijatuhkan,” ujarnya.
Di sisi lain, Eramet, pemegang saham minoritas PT Weda Bay Nickel, menyatakan menghormati keputusan pemerintah. Perusahaan asal Prancis tersebut menegaskan dukungannya terhadap langkah koordinasi dengan Satgas PKH. “Kami mendukung Weda Bay Nickel untuk bekerja sama dengan otoritas berwenang agar seluruh kegiatan memenuhi standar hukum,” kata perwakilan Eramet, Kamis (11/12/2025).
PT Weda Bay Nickel merupakan perusahaan patungan dengan komposisi saham Tsinghan Holding Group (China) 51,2 persen, Eramet 37,8 persen, dan PT Aneka Tambang Tbk sekitar 10 persen. Perusahaan ini memiliki konsesi tambang di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur, beroperasi sejak 2019 dengan izin IUPK hingga 2069, serta kapasitas produksi mencapai 52 juta ton per tahun. (Red)







